Jumat, 25 Februari 2011

Teori Psikoanalisa Yang Menggambarkan Kepribadian menurut froid dan ericsson

TEORI KEPRIBADIAN PSIKOANALISA
A.TEORI KEPRIBADIAN PSIKOANALISA
FREUD: EGO SEBAGAI PARTNER
Diantara kontribusi penting dari Freud pada psikologi ego adalah usahanya yang mengintegrasikan penemuan baru dan teori dalam psikologi anak pada terapi psikoanalisis anak. Dia mempelajari anak-anak sekolah perawat dan juga anak-anak yang sedang dalam terapi psikoanalisis pada Klinik Hamstead miliknya. Tulisan-tulisan Freud memberikan pengaruh yang kuat pada terapi psikoanalisis anak, pada pendidikan anak, dan pada teknik memandirikan anak (child rearing). Dua kontribusi penting pada teori kepribadian Freud: pendekatannya pada pemahaman perkembangan anak dan perluasannya dari mekanisme pertahanan diri. Freud yakin bahwa perkembangan anak akan menjadi bahan pertimbangan dalam konteks yang lebih luas dan bahwa penyelidikannya tidak terbatas pada gejala sebagaimana aspek seksual dan perilaku agresif. Freud telah memberikan kontribusi pada deskripsi mekanisme pertahanan diri yang dikembangkan Sigmund Freud sebagai konseptor aslinya. Berbeda dengan Sigmund Freud,
B. Freud (1946) menyusun 10 mekanisme pertahanan diri: regresi, represi, formasi reaksi, isolasi, undoing/ kehancuran, proyeksi, introyeksi, turning against the self (melawan diri sendiri), reversal (pemutarbalikan fakta), dan sublimasi atau pengalihan (displacement). Anna Freud juga telah memberikan kontribusi yang signifikan pada teori tentang bagaimana perkembangan pertahanan diri itu.
HEINZ HARTMANN: OTONOMI EGO
Heinz Hartmann memiliki pengetahuan yang luas sebagai bapak psikologi ego. Mengikuti pernyataan Freud (1937) bahwa “id dan ego merupakan keaslian”. Hartmann memiliki anggapan dasar bahwa diantara id dan ego ada yang dimunculkan lebih dahulu, tidak berdasarkan perbedaan fase. Ego menurut Hartmann tidak hanya dimotivasi oleh tujuan-tujuan instingtif (seksual dan agresif sebagaimana konsep Freud); menurut Hartmann realitas luar juga menjadi faktor penentu dalam fungsi ego. Ego bersifat otonom dan mencari aktivitas untuk menyesuaikan diri dengan dunia sekitarnya. Ego tidak selalu dalam keadaan konflik dengan id dan superego; ego beroperasi sering dalam suasana “bebas konflik” yang mengikuti setiap proses sebagai kegiatan merasa, mengingat, berpikir, dan memecahkan masalah dalam penyesuaian dirinya pada situasi atau lainnya. Ego bagi Hartmann lebih responsif pada realitas atau dunia luar dan difungsikan secara independen dari id.
ROBERT W. WHITE: KEBUTUHAN EGO UNTUK KOMPETENSI
Tulisan-tulisan Robert White dikembangkan pada teori psikoanalisis dari id dan mendorongnya menolak gagasan bahwa satu-satunya motivasi berperilaku adalah dorongan untuk menurunkan dan pencapaian kepuasan biologis. Menurut White (1959) otot dan otak, mata, dan organ sensori lainnya haruslah diaktifkan untuk dapat tumbuh dan sehat, dengan demikian kehidupan manusia mencari stimulus; mereka tidak pasif bahkan berjuang keras untuk bisa mengurangi dorongan-dorongan. Sebagai contoh dari dorongan manusia pada stimulus, White menggambarkan permainan bayi dan anak kecil (toddler), pembatasan suatu motif baru bahwa dia menyebutnya motif pengaruh (effectance motivation), “Effectance merujuk pada kecenderungan aktif untuk berusaha mempengaruhi lingkungan” (1963). Ketika usaha-usaha ini berhasil, individu akan merasa kompeten. Kompetensi merupakan salah satu konsep yang penting dalam teori White (1959) adalah suatu kecakapan (ability) dari individu untuk melakukan perjanjian dengan lingkungan, baik yang hidup maupun yang tidak, dengan cara yang sukses, membantu individu untuk tumbuh, matang dan survive dalam hidup.
Pendekatan White pada ego dan pengembangan konsep egonya membawa dirinya untuk merevisi tahapan psikoseksual dari perkembangan kepribadian (White, 1960). Motif dan dorongan-dorongan tidak semata-mata kebutuhan biologis yang meliputi setiap tahapan, tetapi faktor-faktor lain juga mempengaruhi perkembangan kepribadian. Pada tahap phallic misalnya, White menegaskan bahwa bukan hanya konsep Freud tentang Oedipus Complex, tetapi anak-anak mengembangkan kompetensinya dengan menggunakan imaginasi dan fantasi. Kompetensi ini diasosiasikan dengan perkembangan bahasa, keterampilan berkomunikasi, dan pengalaman anak-anak menambah wawasan.
ERIK H. ERIKSON
Erikson, sebagaimana Anna Freud, Hartmann, White dan ahli analisis ego kontemporer lainnya yang lebih terfokus dengan ego daripada dengan id dan superego. Erikson melihat ego sebagai perwujudan “kapasitas manusia untuk mempersatukan pengalaman dan tindakannya dalam beradaptasi” (1963), dan dia membuat ego sebagai nakhoda daripada dua sistem lainnya. Erikson menerima dinamika seksual-biologis sebagaimana anggapan dasar dari Freud. Satu kontribusi utama dari Erikson bagaimanapun telah ditegaskan pentingnya interaksi individual dengan lingkungan sosial dalam bentuk kepribadian; ego merupakan “akar dalam organisasi sosial”.
EGO KREATIF
Bangunan dan perluasan pekerjaan Sigmund Freud, Anna Freud, dan Heinz Hartmann, Erikson menggambarkan bahwa ego memiliki kreativitas yang berkualitas. Ego tidak hanya berusaha untuk beradapatasi dengan lingkungan, tetapi juga menemukan solusi kreatif setiap menemukan masalah baru yang menimpanya. Kontribusi terbesar dari Erikson adalah argumennya yang menyatakan bahwa sifat alamiah ego ditentukan tidak hanya oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari dalam (inner forces), tetapi pengaruh sosial dan budaya. Penelitian Erikson dilakukan pada budaya Indian Amerika dengan observasinya tentang budaya-budaya lain pada orang-orang Eropa dan India. Banyak dari “kualitas ego” sebagaimana yang akan kita lihat muncul pada setiap tahap perkembangan yang mencerminkan adanya pengaruh faktor-faktor sosial dan budaya. Walaupun Erikson yakin bahwa kualitas-kualitas itu merupakan “kepercayaan dasar” dan “inisiatif” yang ada dalam format yang masih belum sempurna pada tahap sebelumnya, dia mempertahankan bahwa kepercayaan dasar dan inisiatif berkembang dan menjadi matang hanya melalui pengalaman dengan lingkungan sosial..
CARL GUSTAV JUNG
Doktrin Jung yang dikenal dengan psikologi analitis (analytical psychology), sangat dipengaruhi oleh mitos, mistisisme, metafisika, dan pengalaman religius (Yadi Purwanto, 2003: 121). Ia percaya bahwa hal ini dapat memberikan keterangan yang memuaskan atas sifat spiritual manusia, sedangkan teori-teori Freud hanya berkecimpung dengan hal-hal yang sifatnya keduniaan semata. (Carl Gustav Jung, 1989: 10.)
Jung mendefinisikan kembali istilah-istilah psikologi yang dipakai pada saat itu, khususnya yang dipakai oleh Freud. Ego, menurut Jung, merupakan suatu kompleks yang terletak di tengah-tengah kesadaran, yakni keakuan.
Istilah Freud lainnya yang didefinisikannya kembali adalah libido. Bagi Jung, libido bukan hanya menandakan energi seksual, tetapi semua proses kehidupan yang penuh energi: dari aktivitas seksual sampai penyembuhan (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 92).
Id, ego, dan superego, adalah istilah istilah yang tak pernah dipakai oleh Jung. Sebagai gantinya, ia menggunakan istilah conciousness (kesadaran), personal unconciousness (ketidaksadaran pribadi), dan collective unconciousness (ketidaksadaran kolektif).
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa teori psikoanalisa kontemporer menekankan pada kemampuan ego untuk memanage kemampuan manusia dalam belajar terhadap lingkungan. Teori ini menjelaskan bahwa kekuatan ego tidak hanya berasal dari inner ego. Tetapi juga ditentukan oleh situasi sosioklutural yang berada disekitar manusia. Kemampuan ego ini yang sering kita sebut sebagai ego kreativ dalam belajar. Dari tinjauan seperti ini kemudian bisa diambil sebuah benang merah jika kemampuan ego kreativ tidak hanya berdasarkan oleh naluri instingtif dari dalam diri manusia. Namun ego ini diperoleh dari hasil belajar dari situasi sosiokultural dari lingkungan.
B. STRUKTUR KEPRIBADIAN MANUSIA
1. Menurut CARL GUSTAV JUNG
- Conciousness dan personal unconciousness sebagian dapat diperbandingkan dengan id dan ego, tetapi terdapat perbedaan yang sangat berarti antara superego-nya Freud dengan collective unconciousness, karena Jung percaya bahwa yang terakhir ini adalah wilayah kekuatan jiwa (psyche) yang paling luas dan dalam, yang mengatur akar dari empat fungsi psikologis, yaitu sensasi, intuisi, pikiran, dan perasaan. Selain itu, juga mengandung warisan memori-memori rasial, leluhur dan historis.
- Archetype dan Autonomous Complex, Dalam psikologi Jung, ketidaksadaran kolektif dapat terdiri atas komponen komponen dasar kekuatan jiwa yang oleh Jung disebut sebagai archetype. Archetype merupakan konsep universal yang mengandung elemen mitos yang luas. Konsep archetype ini sangat penting dalam memahami simbol mimpi karena ia menjelaskan kenapa ada mimpi yang memiliki makna universal, sehingga bisa berlaku bagi semua orang. Dan ada pula mimpi yang sifatnya pribadi dan hanya berlaku untuk orang yang bermimpi saja. Jung memandang archetype ini sebagai suatu autonomous complex, yaitu suatu bagian dari kekuatan jiwa yang melepaskan diri dan bebas dari kepribadian. (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 92)
- Persona adalah wajah yang ditampilkan oleh individu. Persona merupakan kepribadian yang sadar, yang dapat diidentikkan dengan ego-nya Freud. Dalam mimpi, ia muncul dalam bentuk sesosok figur yang melambangkan aku dalam suasana tertentu. Kadang-kadang, dapat berupa seorang tua yang keras, wanita bijak, orang gagah, badut, atau anak kecil. Inilah perilaku dari dari pikiran penghasil mimpi kita. Kadang kala, dalam mimpi, hal ini akan diimbangi dengan sebuah karakter yang memainkan peran yang berlawanan. Contohnya, seseorang yang dalam keadaan sadar sebagai sosok yang bermoral, ketika di dalam mimpi bisa jadi berupa seorang bajingan atau sebaliknya.
- Bayang-bayang, Sisi kuat dari kepribadian seorang individu biasanya mendominasi seluruh persona. Aspek-aspek yang lebih lemah dominasinya hanya menjadi bayangbayang diri. Jung mengistilahkannya dengan autonomous complex atau archetype yang lain, yang muncul ke permukaan di dalam mimpi. Kadang-kadang, naluri dan desakan diwujudkan dalam bentuk bayang-bayang, bersama perasaan perasaan negatif dan destruktif. Ia dapat berupa satu sosok yang mengancam, yang menyamar sebagai seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang yang bermimpi.
- Anima dan Animus, Anima dan animus adalah istilah yang dibuat oleh Jung untuk menggambarkan karakteristik dari seks yang berlawanan, yang ada dalam setiap diri laki-laki dan perempuan. Anima adalah sifat kewanitaan yang tersembunyi di dalam diri laki-laki, sedangkan animus adalah sifat kelaki-lakian yang tersembunyi dalam diri perempuan (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 94-96). Anima adalah pusat kasih sayang, emosi, naluri, dan intuisi dari sisi kepribadian laki-laki. Sedangkan Animus adalah sisi praktis, independen, percaya diri, dan keberanian mengambil resiko dari kepribadian wanita.
2. Menurut Erik H. Erikson
Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego yakni kepercayaan dan penghargaan, otonomi dan kemauan, kerajinan dan kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta integritas. Ego ini dapat menemukan menemukan pemecahan kreatif atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Ego bukan menjadi budak lagi, namun dapat mengatur id, superego dan dibentuk oleh konteks cultural dan historik. Berikut adalah ego yang sempurna menurut Erikson
1. Faktualitas adalah kumpulan fakta, data, dan metoda yang dapat diverifikasi dengan metoda kerja yang sedang berlaku. Ego berisi kumpulan fakta dan data hasil interaksi dengan lingkungan.
2. Universalitas berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan (sens of reality) yang menggabungkan hal yang praktis dan kongkrit dengan pandangan semesta, mirip dengan pronsip realita dari Freud.
3. Aktualitas adalah cara baru dalam berhubungan satu dengan yang lain, memperkuat hubungan untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Erikson, ego sebagian bersifat taksadar, mengorganisir dan mensitesa pengalaman sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan diri masa yang akan datang. Dia menemukan tiga aspek ego yang saling berhubungan, yakni
1. Body Ego: Mengacu ke pengalaman orang dengan tubuh/ fisiknya sendiri.
2. Ego Ideal: Gambaran mengenai bagaimana seharusnya diri, sesuatu yang bersifat ideal.
3. Ego Identity: Gambaran mengenai diri dalam berbagai peran sosial.
Teori Ego dari Erikson memandang bahwa perkembangan kepribadian mengikuti prinsip epigenetik. Bagi organisme, untuk mencapai perkembangan penuh dari struktur biologis potensialnya, lingkungan harus memberi stimulasi yang khusus. Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan ibu-anak menjadi bagian penting dari perkembangan kepribadian. Tetapi Erikson tidak membatasi teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego.
C. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN MENURUT TEORI PSIKOANALISA KONTEMPORER
1. Prinsip Epigenetik
Menurut Erikson, ego berkembang melalui berbagai tahap kehidupan mengikuti prinsip epigenetik, istilah yang dipinjam dari embriologi. Perkembangan epigenetik adalah perkembangan tahap demi tahap dari organ-organ embrio. Ego berkembang mengikuti prinsip epigenetik, artinya tiap bagian dari ego berkembang pada tahap perkembangan tertentu dalam rentangan waktu tertentu (yang disediakan oleh hereditas untuk berkembang). Tahap perkembangan yang satu terbentuk dan dikembangkan di atas perkembangan sebelumnya (tetapi tidak mengganti perkembangan tahap sebelumnya itu).
2. Enam Pokok Pikiran Teori Perkembangan Psikososial Erikson
a. Prinsip Epigenetik: Perkembangan kepribadian mengiuti prinsip epigenetik.
b. Interaksi Bertentangan: Di setiap tahap ada konflik psikososial, antara elemen sintonik (syntonic = harmonious) dan distonik (dystonic = disruptive). Kedua elemen itu dibutuhkan oleh kepribadian.
c. Kekuatan Ego: Konflik psikososial di setiap tahap hasilnya akan mempengaruhi atau mengembangkan ego. Dari sisi jenis sifat yang dikembangkan, kemenangan aspek sintonik akan memberi ego sifat yang baik, disebut Virtue. Dari sisi enerji, virtue akan meningkatkan kuantitas ego atau kekuatan ego untuk mengatasi konflik sejenis, sehingga virtue disebut juga sebagai kekuatan dasar (basic strengh).
d. Aspek Somatis: Walaupun Erikson membagi tahapan berdasarkan perkembangan psikososial, dia tidak melupakan aspek somatis/biologikal dari perkembangan manusia.
e. Konflik dan Peristiwa Pancaragam (Multiplicity of Conflict and Event): Peristiwa pada awal perkembangan tidak berdampak langsung pada perkembangan kepribadian selanjutnya. Identitas ego dibentuk oleh konflik dan peristiwa masa lalu, kini, dan masa yang akan datang.
f. Di setiap tahap perkembangan, khususnya dari masa adolesen dan sesudahnya, perkembangan kepribadian ditandai oleh krisis identitas (identity crisis), yang dinamakan Erikson “titik balik, periode peningkatan bahaya dan memuncaknya potensi”.

3. Pola Perkembangan Manusia
a. Fase Bayi (0-1 Tahun)
Pararel dengan Fase Oral dari Freud, namun bagi Erikson kegiatan bayi tidak terikat dengan mulut semata; bayi adalah saat untuk memasukkan (incorporation), bukan hanya melalui mulut (menelan) tetapi juga dari semua indera. Tahap sensori oral ditandai oleh dua jenis inkorporasi: mendapat (receiving) dan menerima (accepting). Tahun pertama kehidupannya, bayi memakai sebagian besar waktunya untuk makan, eliminasi (buang kotoran), dan tidur. Ketika ia menyadari ibu akan memberi makan/minum secara teratur, mereka belajar dan memperoleh kualitas ego atau identitas ego yang pertama, perasaan kepercayaan dasar (basic trust). Bayi harus mengalami rasa lapar, haus, nyeri, dan ketidaknyamanan lain, dan kemudian mengalami perbaikan atau hilangnya kondisi yang tidak menyenangkan itu. Dari peristiwa itu bayi akan belajar mengharap bahwa hal yang menyakitkan ke depan bisa berubah menjadi menyenangkan. Bayi menangkap hubungannya dengan ibu sebagai sesuatu yang keramat (numinous).
b. Fase Anak-Anak (1-3 Tahun)
Dalam teori Erikson, anak memperoleh kepuasan bukan dari keberhasilan mengontrol alat-alat anus saja, tetapi juga dari keberhasilan mengontrol fungsi tubuh yang lain seperti urinasi, berjalan, melempar, memegang, dan sebagainya. Pada tahun kedua, penyesuaian psikososial terpusat pada otot anal-uretral (Anal-Urethral Muscular); anak belajar mengontrol tubuhnya, khususnya yang berhubungan dengan kebersihan. Pada tahap ini anak dihadapkan dengan budaya yang menghambat ekspresi diri serta hak dan kewajiban. Anak belajar untuk melakukan pembatasan-pembatasan dan kontrol diri dan menerima kontrol dari orang lain. Hasil mengatasi krisis otonomi versus malu-ragu adalah kekuatan dasar kemauan. Ini adalah permulaan dari kebebasan kemauan dan kekuatan kemauan (benar-benar hanya permulaan), yang menjadi ujud virtue kemauan di dalam egonya. Pada tahap ini pola komunikasi mengembangkan penilaian benar atau salah dari tingkah laku diri dan orang lain, disebut bijaksana (judicious).
c. Usia Bermain (3-6 Tahun)
Pada tahap ini Erkson mementingkan perkembangan pada fase bermain, yakni; identifikasi dengan orang tua (odipus kompleks), mengembangkan gerakan tubuh, ketrampilan bahasa, rasa ingin tahu, imajinasi, dan kemampuan menentukan tujuan. Erikson mengakui gejala odipus muncul sebagai dampak dari fase psikososeksual genital-locomotor, namun diberi makna yang berbeda. Menurutnya, situasi odipus adalah prototip dari kekuatan yang abadi dari kehidupan manusia. Aktivitas genital pada usia bermain diikuti dengan peningkatan fasilitas untuk bergerak. Inisiatif yang dipakai anak untuk memilih dan mengejar berbagai tujuan, seperti kawain dengan ibu/ayah, atau meninggalkan rumah, juga untuk menekan atau menunda suatu tujuan. Konflik antara inisiatif dengan berdosa menghasilkan kekuatan dasar (virtue) tujuan (purpose). Tahap ini dipenuhi dengan fantasi anak, menjadi ayah, ibu, menjadi karakter baik untuk mengalahkan penjahat.
d. Usia Sekolah (6-12 Tahun)
Pada usia ini dunia sosial anak meluas keluar dari dunia keluarga, anak bergaul dengan teman sebaya, guru, dan orang dewasa lainnya. Pada usia ini keingintahuan menjadi sangat kuat dan hal itu berkaitan dengan perjuangan dasar menjadi berkemampuan (competence). Memendam insting seksual sangat penting karena akan membuat anak dapat memakain enerjinya untuk mempelajari teknologi dan budayanya serta interaksi sosialnya. Krisis psikososial pada tahap ini adalah antara ketekunan dengan perasaan inferior (industry – inveriority). Dari konflik antar ketekunan dengan inferiorita, anak mengembangkan kekuatan dasar: kemampuan (competency). Di sekolah, anak banyak belajar tentang sistem, aturan, metoda yang membuat suatu pekrjaan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.
e. Adolesen (12-20 Tahun)
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting diantara tahap perkembangan lainnya, karena orang harus mencapai tingkat identitas ego yang cukup baik. Bagi Erikson, pubertas (puberty) penting bukan karena kemasakan seksual, tetapi karena pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa yang akan datang. Pencarian identitas ego mencapai puncaknya pada fase ini, ketika remaja berjuang untuk menemukan siapa dirinya. Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada tahap adolesen adalah kesetiaan (fidelity); yaitu setia dalam beberapa pandangan idiologi atau visi masa depan. Memilih dan memiliki ediologi akan memberi pola umum kehidupan diri, bagaimana berpakaian, pilihan musik dan buku bacaan, dan pengaturan waktu sehari-hari.
f. Dewasa Awal (20-30 Tahun)
Pengalaman adolesen dalam mencari identitas dibutuhkan oleh dewasa-awal. Perkembangan psikoseksual tahap ini disebut perkelaminan (genitality). Keakraban (intimacy) adalah kemampuan untuk menyatukan identitas diri dengan identitas orang lain tanpa ketakutan kehilangan identitas diri itu. Cinta adalah kesetiaan yang masak sebagai dampak dari perbedaan dasar antara pria dan wanita. Cinta selain di samping bermuatan intimasi juga membutuhkan sedikit isolasi, karena masing-masing partner tetap boleh memiliki identitas yang terpisah. Ritualisasi pada tahap ini adalah Afiliasi, refleksi dari kenyataan adanya cinta, mempertahankan persahabatan, ikatan kerja.
g. Dewasa (30-65 Tahun)
Tahap dewasa adalah waktu menempatkan diri di masyarakat dan ikut bertanggung jawab terhadap apapun yang dihasilkan dari masyarakat. Kualitas sintonik tahap dewasa adalah generativita, yaitu penurunan kehidupan baru, serta produk dan ide baru. Kepedulian (care) adalah perluasan komitmen untuk merawat orang lain, merawat produk dan ide yang membutuhkan perhatian. Kepedulian membutuhkan semua kekuatan dasar ego sebelumnya sebagai kekuatan dasar orang dewasa. Generasional adalah interaksi antara orang dewasa dengan generasi penerusnya bisa berupa pemberian hadiah atau sanjungan, sedangkan otoritisme mengandung pemaksaan. Orang dewasa dengan kekuatan dan kekuasaannya memaksa aturan, moral, dan kemauan pribadi dalam interaksi.
h. Usia Tua (>65 Tahun)
Menjadi tua sudah tidak menghasilkan keturunan, tetapi masih produktif dan kreatif dalam hal lain, misalnya memberi perhatian/merawat generasi penerus – cucu dan remaja pada umumnya. Tahap terakhir daroi psikoseksual adalah generalisasi sensualitas (Generalized Sensuality): memperoleh kenikmatan dari berbagai sensasi fisik, penglihatan, pendengaran, kecapan, bau, pelukan, dan juga stimulasi genital. Banyak terjadi pada krisis psikososial terakhir ini, kualita distonik “putus asa” yang menang. Orang dengan kebijaksanaan yang matang, tetap mempertahankan integritasnya ketika kemampuan fisik dan mentalnya menurun. Pada tahap usia tua, ritualisasinya adalah integral; ungkapan kebijaksanaan dan pemahaman makna kehidupan. Interaksi yang tidak mementingkan keinginan dan kebutuhan duniawi.
D. PANDANGAN TENTANG PERILAKU BERMASALAH
Para ahli psikoanalisa kontemporer menganggap bahwa ego sebagai slah satu struktur dasar kepribadian manusia memiliki unsur dominan dalam proses kehidupan. Ego ini diperoleh dari proses belajar secara kreatif terhadap kondisi sosiokultural disekitarnya. Nah dari sisi ini kemudian akan muncul sebuah masalah ketika apa yang dipelajari ego dari lingkungan ternyata mengalami konflik dengan inner insting dari dalam dirinya. Terlepas dari super ego yang mampu mengontrol kegiatan ego, ego akan cenderung membuat keputusan sendiri berdasarkan kemampuan dari hasil belajar yang dimilikinya. Dari sini kemungkinan masalah yang akan muncul antara lain adalah:
a. Over Confidence dan Low Confidence
Pada tahun pertama kehidupan, seorang bayi menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk makan, buang kotoran, dan tidur. Hal ini merupakan kecakapan untuk melakukan segala sesuatu dalam kedamaian dan rileks yang memberikan signal yang muncul dari kualitas ego pertama, memiliki kepercayaan dasar. Sang bayi juga belajar bahwa walaupun ibunya pergi, tetapi dia yakin bahwa ibunya akan kembali. Bayi mulai cakap untuk mempercayai dirinya dan menghubungkan kepercayaan dirinya dengan realitas, sebagai suatu perasaan identitas ego yang bersifat elementer. Dalam lingkungan yang paling baik, Erikson (1968) mengatakan bahwa sedikit demi sedikit tetapi pasti pemisahan ibu dengan bayi merupakan perkenalan suatu “hal yang suram tapi kenangan indah untuk surga yang hilang”. Perasaan ini bagaimanapun juga merupakan bentuk dasar dari dasar adanya ketidakpercayaan (basic mistrust) dan juga berkembang selama tahap ini. Hubungan yang sehat dengan ibu “menggabungkan kepekaan dari kebutuhan individual sang bayi dan menguatkan perasaan sifat dapat dipercaya secara pribadi” (Erikson, 1963).
b. Kemandirian (Otonomi) Vs Rasa Malu Dan Keraguan
Keadaan krisis merupakan sebuah peluang kemandirian/ otonomi untuk melawan kecenderungan merasa malu dan ragu-ragu dari seseorang yang menjadi kekuatan umum selama tahun kedua dan ketiga kehidupan. Keadaan krisis sebagai awal untuk menggerakkan dan mendorong diri, anak harus belajar apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan. Secara berangsur-angsur anak belajar mengontrol dirinya sendiri menerima perasaan bangga dan kegagalan melakukan pekerjaan membawa perasaan malu dan ragu-ragu.
c. Inisiatif Vs Rasa Bersalah
Pada tahap ketiga, kira-kira pada tahun ke-4 atau ke-5 dari kehidupan, kualitas ego tentang inisiatif memungkin anak merencanakan dan mengatur tugas-tugasnya. Anak ingin sekali belajar dengan cepat. Bahaya dari tahap ini adalah berkembangnya rasa bersalah. Anak sudah belajar tentang sesuatu yang dilarang, tetapi ambisinya tidak bisa dikendalikan dan ini mendorongnya berlaku agresif dan memanipulasi pada percobaannya untuk mencapai tujuannya. Pertumbuhan kapasitasnya mendorongnya pada besarnya keberanian. Fantasi seksualnya secara khusus menimbulkan rasa bersalah. Ingatlah pada sistem Freud, masa ini merupakan masa Oedipus Complex. Kesulitan dari tugas anak-anak mungkin semakin meningkat karena kecenderungan superego yang lebih membatasi daripada yang diharapkan orang tua, atau anak mengembangkan kemarahan jika ditemukan orang tuanya “mencoba melakukan pelanggaran hukum”, anak kini tidak bisa memaklumi dirinya. Menyerah dari harapan dan fantasi, Erikson berkata bahwa anak-anak kemungkinan akan menahan “kekuatan dalam kemarahan”. The virtue of purpose yang mendorong mengejar tujuan tanpa rasa takut hukuman atau rasa bersalah berkembang melalui permainan yang kini menjadi aktivitas utama anak. Dengan meniru orang dewasa dalam permainan, anak-anak belajar mengantisipasi peranannya di masa depan.
d. Industri Vs Rendah Diri
Lebih kurang sesuai dengan periode laten menurut Freud, antara 6 sampai 12 tahun, fase keempat dari kehidupan adalah “hanya sebuah ketenangan sebelum badai pubertas” dan “oleh masyarakat fase yang paling menentukan” (Erikson, 1963). Perasaan industri berkembang pada saat anak belajar mengontrol semangat imajinasi dan mengaplikasikannya pada pendidikan formal. Bahaya dari tahap ini adalah bahwa jika anak gagal atau dibuat merasa gagal akan tugas-tugas utamanya di sekolah dan di rumah mungkin akan ditinggalkan karena merasa rendah diri. Hal ini hanya melalui aplikasi pekerjaan anak dan mengembangkan rasa industri bahwa sifat baik dari kompetensi muncul, “latihan ketangkasan dan inteligensi dalam penyelesaian tugas-tugas” (Erikson, 1964). Anak-anak membutuhkan instruksi dan metodologi, tetapi yang sangat penting adalah mengaplikasikan kecerdasan dan energinya yang berlebihan.
e. Identitas Vs Kebingungan Idetitas
Hal ini berada pada fase kelima dari kehidupan yang oleh Freud ditandai sebagai masa dewasa atau masa “genital” dan ini merupakan masa akhir tahap kehidupan. Tetapi menurut Erikson, ini merupakan masa pembentukan identitas awal. Selama fase ini yang terakhir dari masa pubertas kira-kira usia 12 tahun sampai akhir masa remaja, para remaja mulai memiliki rasa identitasnya. Mereka sering kali mengalami konflik tentang bagaimana cara menyalurkan dorongan seksual. Mereka ingin mengambil keputusan, tetapi merasa tidak punya persiapan. Dengan demikian mereka bingung dan sering merasa malu, dan perilakunya tidak konsisten. Gangguan pada orang tua dan orang lain merupakan perkembangan dari identitas negatif-sebagai suatu potensi untuk berbuat buruk. Biasanya identitas negatif yang mereka lakukan diproyeksikan pada orang lain, “Mereka yang salah, bukan saya”. Tetapi kadang-kadang remaja menganut satu identitas negatif. Para remaja sering terlalu mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh idola atau kelompok yang memiliki sejenis identitas kolektif dan mereka menirunya. Dalam memasuki kelompok identifikasi, mereka menguji kesetiaan, “untuk mendukung loyalitas yang dijanjikan walaupun sistem nilainya bertentangan” (Erikson, 1964). Kondisi ini oleh Erikson disebut kesetiaan (fidelity). Sebagian remaja pada kelompok usia ini tidak siap untuk memecahkan krisis identitas mereka dan membutuhkan penundaan satu periode yang disebut sebagai periode penundaan psikososial (psychosocial moratorium) yang berarti satu waktu yang ditunda untuk bertanggung jawab sebagai orang dewasa.
f. Keintiman Vs Isolasi
Fase keenam, yaitu pada masa dewasa awal, sekitar usia 20-an, individu sudah siap dan ingin sekali menyatukan identitasnya dengan identitas orang lain. Mereka mulai mencari hubungan yang akrab. Mereka siap untuk mengembangkan kekuatan yang mereka butuhkan untuk bertanggung jawab pada orang lain, sekalipun tanggung jawabnya sebagai pengorbanan dan kompromi. Isolasi merupakan hal yang berbahaya pada fase ini, yaitu merasa tidak mampu “mengubah identitas diri dengan membagi keintiman” (Erikson, 1968). Hal ini terjadi setelah individu mengembangkan sebuah rasa memiliki yang kuat dan apa yang mereka inginkan dalam hidupnya pada apa yang dapat kembangkan pada fase cinta. Menurut Erikson, cinta adalah “saling setia” diantara dua individu yang berbeda kepribadian, pengalaman, dan peran.
g. Berketurunan (Generativity) Vs Stagnasi
Fase ketujuh (30 – 65 tahun) mengembangkan keturunan. Menurut Erikson fase ini merupakan fase memperhatikan untuk menetapkan dan membimbing generasi berikutnya. Secara umum ini berarti bahwa orang dewasa ingin mempunyai anak yang kepada siapa mereka akan mewariskan nilai-nilai. Lebih luas lagi generativitas meliputi produktivitas dan kreativitas. Makhluk hidup juga membutuhkan produk dan gagasan-gagasan, dan sebagain orang memenuhi “dorongan/ motif dewasa” (parental drive) dalam tahap ini daripada sekedar melahirkan anak. Jika tidak ada peluang untuk memenuhi kebutuhan generativitas, maka berisiko stagnasi, dimana kepribadian dimiskinkan dan mundur kepada self-concern.
h. Integritas Vs Putus Asa
Ketika orang merasa dibimbing, dipelihara, dan diperhatikan orang lain, mereka masuk pada tahap kedelapan yang dimulai sekitar usia 65 tahun. Pada tahap ini muncul kualitas ego integritas. Mereka merasa bahwa hidup mereka memiliki pesan dan makna dalam suatu pesan yang lebih besar. Mereka dapat melihat bahwa orang lain memiliki kehidupan yang berbeda, tetapi mereka siap mempertahankan martabat/ harga diri dari gaya hidup yang dijalaninya. Bahayanya adalah ketika merenung bahwa hidup mereka yang mendekati kematian, mereka akan merasa putus asa. Tetapi apabila perasaan integritas lebih besar dari rasa putus asanya, mereka akan bersikap lebih bijaksana.

Jumat, 18 Februari 2011

sejarah perkembangan mental

SEJARAH PERKEMBANGAN KESEHATAN MENTAL

Setelah Perang Dunia II, perhatian masyarakat mengenai kesehatan jiwa semakin bertambah. Kesehatan mental bukan suatu hal yang baru bagi peradaban manusia. Pepatah Yunani tentang mens sana in confore sano merupakan satu indikasi bahwa masyarakat di zaman sebelum masehi pun sudah memperhatikan betapa pentingnya aspek kesehatan mental.

Yang tercatat dalam sejarah ilmu, khususnya di bidang kesehatan mental, kita dapat memahami bahwa gangguan mental itu telah terjadi sejak awal peradaban manusia dan sekaligus telah ada upaya-upaya mengatasinya sejalan dengan peradaban. Untuk lebih lanjutnya, berikut dikemukakan secara singkat tentang sejarah perkembangan kesehatan mental.

Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental

Seperti juga psikologi yang mempelajari hidup kejiwaan manusia, dan memiliki usia sejak adanya manusia di dunia, maka masalah kesehatan jiwa itupun telah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu dalam bentuk pengetahuan yang sederhana.

Beratus-ratus tahun yang lalu orang menduga bahwa penyebab penyakit mental adalah syaitan-syaitan, roh-roh jahat dan dosa-dosa. Oleh karena itu para penderita penyakit mental dimasukkan dalam penjara-penjara di bawah tanah atau dihukum dan diikat erat-erat dengan rantai besi yang berat dan kuat. Namun, lambat laun ada usaha-usaha kemanusiaan yang mengadakan perbaikan dalam menanggulangi orang-orang yang terganggu mentalnya ini. Philippe Pinel di Perancis dan William Tuke dari Inggris adalah salah satu contoh orang yang berjasa dalam mengatasi dan menanggulangi orang-orang yang terkena penyakit mental. Masa-masa Pinel dan Tuke ini selanjutnya dikenal dengan masa pra ilmiah karena hanya usaha dan praksis yang mereka lakukan tanpa adanya teori-teori yang dikemukakan.[1]

Masa selanjutnya adalah masa ilmiah, dimana tidak hanya praksis yang dilakukan tetapi berbagai teori mengenai kesehatan mental dikemukakan. Masa ini berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam di Eropa.

Dorothea Dix merupakan seorang pionir wanita dalam usaha-usaha kemanusiaan berasal dari Amerika. Ia berusaha menyembuhkan dan memelihara para penderita penyakit mental dan orang-orang gila. Sangat banyak jasanya dalam memperluas dan memperbaiki kondisi dari 32 rumah sakit jiwa di seluruh negara Amerika bahkan sampai ke Eropa. Atas jasa-jasa besarnya inilah Dix dapat disebut sebagai tokoh besar pada abad ke-19.

Tokoh lain yang banyak pula memberikan jasanya pada ranah kesehatan mental adalah Clifford Whittingham Beers (1876-1943). Beers pernah sakit mental dan dirawat selama dua tahun dalam beberapa rumah sakit jiwa. Ia mengalami sendiri betapa kejam dan kerasnya perlakuan serta cara penyembuhan atau pengobatan dalam asylum-asylum tersebut. Sering ia didera dengan pukulan-pukulan dan jotosan-jotosan, dan menerima hinaan-hinaan yang menyakitkan hati dari perawat-perawat yang kejam. Dan banyak lagi perlakuan-perlakuan kejam yang tidak berperi kemanusiaan dialaminya dalam rumah sakit jiwa tersebut. Setelah dirawat selama dua tahun, beruntung Beers bisa sembuh.

Di dalam bukunya ”A Mind That Found Itself”, Beers tidak hanya melontarkan tuduhan-tuduhan terhadap tindakan-tindakan kejam dan tidak berperi kemanusiaan dalam asylum-asylum tadi, tapi juga menyarankan program-program perbaikan yang definitif pada cara pemeliharaan dan cara penyembuhannya. Pengalaman pribadinya itu meyakinkan Beers bahwa penyakit mental itu dapat dicegah dan pada banyak peristiwa dapat disembuhkan pula. Oleh keyakinan ini ia kemudian menyusun satu program nasional, yang berisikan:

1. Perbaikan dalam metode pemeliharaan dan penyembuhan para penderita mental.
2. Kampanye memberikan informasi-informasi agar orang mau bersikap lebih inteligen dan lebih human atau berperikemanusiaan terhadap para penderita penyakit emosi dan mental.
3. Memperbanyak riset untuk menyelidiki sebab-musabab timbulnya penyakit mental dan mengembangkan terapi penyembuhannya.
4. Memperbesar usaha-usaha edukatif dan penerangan guna mencegah timbulnya penyakit mental dan gangguan-gangguan emosi.

William James dan Adolf Meyer, para psikolog besar, sangat terkesan oleh uraian Beers tersebut. Maka akhirnya Adolf Meyer-lah yang menyarankan agar ”Mental Hygiene” dipopulerkan sebagai satu gerakan kemanusiaan yang baru. Dan pada tahun 1908 terbentuklah organisasi Connectitude Society for Mental Hygiene. Lalu pada tahun 1909 berdirilah The National Committee for Mental Hygiene, dimana Beers sendiri duduk di dalamnya hingga akhir hayatnya.[2]

Dasar dan Tujuan Mempelajari Kesehatan Mental

Kesanggupan seseorang untuk hidup rela dan gembira bergantung pada sejauh mana ia menikmati kesehatan mental. Kesehatan mental yang wajar adalah yang sanggup menikmati hidup ini, rela kepadanya, menerimanya dan sanggup membentuknya sesuai dengan kehendaknya.

Pemahaman terhadap kesehatan mental yang wajar memestikan akan pengetahuan tentang konsep dasar kesehatan mental, seperti yang telah dijelaskan oleh para psikolog, yaitu motivasi (motivation), pertarungan psikologikal (psychologgical conflict), kerisauan (anciety), dan cara membela diri.

Motivasi adalah keadaan psikologis yang merangsang dan memberi arah terhadap aktivitas manusia. Dialah kekuatan yang menggerakkan dan mendorong aktivitas seseorang. Motivasi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu motivasi primer (biologis) yang mempunyai kaitan dengan dengan proses organik atau yang timbul dari kekurangan atau kelebihan pada sesuatu yang berkaitan dengan struktur organik manusia. Kedua, motivasi sekunder (psikologi) yang jelas tidak ada kaitannya dengan organ-organ manusia.

Pertarungan psikologis adalah terdedahnya (tercegahnya) seseorang kepada kekuatan-kekuatan yang sama besarnya yang mendorongnya kepada berbagai hal dimana ia tidak sanggup memilih salah satu hal tersebut.

Kerisauan, secara umum, adalah pengalaman emosional yang tidak menggembirakan yang dialami seseorang ketika merasa takut atau terancam sesuatu yang tidak dapat ditentukannya dengan jelas. Biasanya keadaan ini disertai perubahan keadaan fisiologis, seperti cepatnya debaran jantung, hilang selera makan, rasa sesak nafas, dan lain sebagainya.

Cara membela diri merupakan cara yang dibuat dan dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar untuk menghindarkan dirinya menghadapi pergolakan kerisauan yang dihadapi dan kekuatan-kekuatan yang bertarung dengan nilai-nilai, sikap dan tuntutan masyarakat.

Mempelajari kesehatan pada berbagai ilmu itu pada prinsipnya bertujuan sebagai berikut:

1. Memahami makna kesehatan mental dan faktor-faktor penyebabnya.
2. Memahami pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penanganan kesehatan mental.
3. Memiliki kemampuan dasar dalam usaha peningkatan dan pencegahan kesehatan mental masayarakat.
4. Meningkatkan kesehatan mental masyarakat dan mengurangi timbulnya gangguan mental masyarakat.

Konsep sehat

Konsep sehat menurut saya adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak memiliki penyakit jasmani maupun rohani. Sehat juga dapat diartikan sebagai kesehatan pada segi fisik, segi mental maupun kesehatan masyarakat. Sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual.