Jumat, 20 Januari 2012

tugas Softskill



PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

Nama                           : Dama Garri S.W.S
NPM                           : 13509179
KELAS                       : 3PA07
MATA KULIAH       : Psikologi Lintas Budaya

UNIVERSITAS GUNADARMA
2011-2012

BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang kaya dengan beragam suku dan budaya,yaitu sekitar 300 suku bangsa. Setiap suku memiliki keunikan masing-masing. Seperti suku Suku Tengger yang berada di sekitar Gunung Bromo (Jawa Timur), Suku Baduy yang terletak di wilayah Kabupaten Lebak, (Banten), suku Dayak yang merupakan suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan dan masih banyak suku- suku lainnya yang besar maupun yang kecil.
Diantara suku-suku diatas, disini kita akan membahas tentang suku Sasak yang hidup di Pulau Lombok yang tinggal di dusun Sade, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Sekitar 80% penduduk pulau ini diduduki oleh Suku Sasak dan selebihnya adalah suku lainnya, seperti suku mbojo (bima), dompu, samawa (sambawa), jawa dan hindu (Bali Lombok). Suku Sasak adalah suku terbesar di Propinsi yang berada di antara Bali dan Nusa Tenggara Timur. Suku Sasak masih dekat dengan suku bangsa Bali, tetapi suku ini sebagian besar memeluk agama Islam
Umumnya, kepala keluarga suku ini bekerja sebagai petani, sedangkan kaum wanitanya memiliki sambilan sebagai penenun kain. Hasil Tenunan dipajang di teras rumah atau di gazebo yang ada di sekitar rumah. Para wisatawan bisa berkeliling menyusuri lorong kecil dari rumah ke rumah untuk melihat hasil tenun sambil melihat rumah adat suku Sasak yang disebut bale tani. Keunikan dari rumah adat suku Sasak adalah lantai yang dibuat dari campuran tanah liat, kotoran kerbau, dan kulit padi. Menurut mereka, campuran tersebut lebih kokoh dibandingkan semen biasa dan memiliki arti tersendiri. Tanah menggambarkan dari mana manusia berasal. Sedangkan kotoran kerbau menggambarkan kehidupan mereka sebagai petani yang sangat memerlukan kerbau untuk membajak sawah. Dari Pemaparan diatas, nampak jelas terlihat banyak sekali hal yang perlu kita ketahui secara mendalam tentang Suku Sasak, sehingga dapat memperluas khasanah keilmuan dan untuk lebih memahami bahwa indonesia mempunyai berbagai suku dan adat istiadat masing-masing sehingga kita mempunyai bekal untuk manentukan sikap dan jalan apa yang paling tepat untuk menyikapinya.
  

BAB II
Pembahasan

Komunitas Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat merupakan Suku terbesar di Propinsi yang berada di antara Bali dan Nusa Tenggara Timur ini. Menurut catatan sensus yang diadakan tahun 1989, populasi suku sasak mencapai 2,1 juta jiwa. Pada Sensus berikutnya, tepatnya tahun 2000 populasinya bertambah menjadi 2,6 juta jiwa. Tahun 2008 diperkirakan populasi Suku Sasak yang tinggal di Lombok sekitar 3 juta jiwa, jumlah itu belum termasuk “sasak diaspora” alias sasak rantau yang menetap di Pulau Sumbawa bagian Barat, di Kalimantan Timur (akibat proyek transmigrasi), di Malaysia (TKI) dan di beberapa Kota besar di Indonesia (yang umumnya karena faktor pekerjaan dan status sebagai Mahasiswa). Di Samping itu dalam jumlah kecil, Suku Sasak tersebar di beberapa Negara di dunia ini. Melihat hal ini Populasi Komunitas Suku Sasak bisa dikatakan cukup besar dan layak disandingkan dengan etnis lain di Indonesia. Ada hal yang sangat menarik dari pembahasan suku sasak ini, yaitu adanya pengelompokan suku sasak menjadi dua kelompok yaitu kelompok wetu telu dan kelompok wetu lima. Dari kedua kelompok ini nampak jelas sekali perbedaannya.

2.1. SEJARAH

Sebelum datangnya pengaruh asing ke lombok,Boda merupakan kepercayaan asli orang sasak sehingga di sebut sasak-boda. Dengan ciri yang menonjol adalah dengan animisme dan panteisme. Pemujaan dan penyembahan roh leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya.
Konversi orang sasak ke dalam islam sangat berkaitan erat kaitannya dengan kenyataan adanya penakhlukan dari kekuatan luar.berbagai kekuatan asing yang menakhlukan lombok selama berabad-abad sangat menentukan cara orang-orang sasak dalam menyerap pengaruh pengaruh luar tersebut.
Kerajaan hindu- majapahit dari jawatimur masuk ke lombok pada abad ke-7 dan memperkenalkan hindu-budhiesme ke kalangan orang sasak. Setelah dinasti majapahit jatuh agama islam di bawa pertama kali oleh para raja jawa muslim pada abad ke-13 ke kalangan orang sasak lombok dari barat laut. Islam segera menyatu dengan ajaran sufisme jawa yang penuh mistikisme. Pada abad ke 16 orang orang makasar tiba ke lombok dan menguasai selaparang, kerajaan orang sasak asli. Pada abad ke-17 lombok dikuasai oleh kerajaan bali dari karang asem. Pada masa ini pemerintah bali memperlihatkan kearifannya untuk membiarkan masyarakat sasak mengikuti agama mereka sendiri. Kendati demikian ada perlawanan dari para bangsawan sasak yang telah terislamisasi melakukan perlawanan- perlawanan kecil, seperti Tuan Guru. Namun hal ini tidak berhasil. Kekalahan ini mendoong belanda untuk mengusir kerajaan bali dari lombok. Akhirnya belanda mampu menguasai lombok dan melakukan penjajahan terhadap masyarakat sasak dengan memberlakukan pajak tanah yang tingggi ( Kraan 1976).
Tuan guru yang sebelumnya telah melkakukan dakwah terhadap kaum wetu telu, menjadikan islam sebagai dasar idiologi untuk mengusir penjajahan belanda yang dianggap kafir. Dalam upaya pengusiran ini, tuan guru mendapat banyak pengikut dari masyarakat sasak untuk mengusir penjajahan
Jepang menggantika belanda dalam menjajah lombok antara 1942-1945. Akhirnya lombok merdeka pada tahun 1946, dan segera pada saat itu tuan guru zainudin abdul madjid mendirikan pesantren Nahdlatul Wathan, yang sekarang menjadi pesantern tertua di lombok.

2.2 PERKEMBANGAN BAHASA

Bahasa Sasak, terutama aksara (bahasa tertulis) nya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama sama menggunakan aksara Ha Na Ca Ra Ka …dst. Tapi secara pelafalan cukup dekat dengan Bali.
Menurut ethnologue yang mengumpulkan semua bahasa di dunia, Bahasa Sasak merupakan keluarga (Languages Family) dari Austronesian Malayo-Polynesian (MP), Nuclear MPSunda-Sulawesi dan Bali-Sasak.
Sementara kalau kita perhatikan secara langsung, bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek (cara pengucapan) maupun kosa katanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Saat Pemerintah Kabupaten Lombok Timur ingin membuat Kamus Sasak saja, mereka kewalahan dengan beragamnya bahasa sasak yang ada di lombok timur, contoh : Kuto-Kute (Lombok Bagian Utara), Ngeto-Ngete (Lombok Bagian Tenggara), Meno-Mene (Lombok Bagian Tengah), Ngeno-Ngene (Lombok Bagian Tengah), Mriak-Mriku (Lombok Bagian Selatan)

2.3 RUMAH ADAT

Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat tersebut didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela.
Orang Sasak juga selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan membangun rumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sempah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, hal tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).
Rumah adat suku Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu (bedek), hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya dibagi menjadi ruang induk meliputi bale luar,ruang tidur dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem juga dilengkapi amben, dapur, dansempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tanggan lainnya) tersebut dari bambu ukuran 2×2 meter persegi. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah kotoran kerbau/kuda, getah, dan abu jerami.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari beberapa macam, diantaranya adalah Bale Tani, Bale Jajar, Berugag/Sekepat, Sekenam, Bale Bonter, Bale BeleqBencingah, dan Bele Tajuk. Dan nama bangunan tersebut disesuaikan dengan fungsi dari masing- masing tempat.
Rumah adat suku sasak
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_leQy2spiwiy25edM7rofl-DfbEkzL38d5x0g5m6tK4_MLABPiYwLyW0Pxyo9M6FO_EU19vdgYwE65IgFpEYDMpJn4EW3SE0rBScpPaBig7IdS7ZVWndjdFtVPgG0VPgQwNoO1XY4MJ5-/s320/senaru.jpg

1. Bale Tani
adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai
petani.
2. Bale Jajar
Merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengan ke atas. Bentuk Bale Jajar hampir sama dengan Bale Tani, yang membedakan adalah jumlah dalem balenya
3. Berugaq / Sekepat
Berfungsi sebagai tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Berugaq / sekupat juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang dating midang (melamar).
4. Sekenam
Digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai
budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.



5. Bale bonter
Dipergunakan sebagai ternopat pesangkepan / persidangan adat, seperti: tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat, dan sebagainya. Umumnya bangunan ini dimiliki oleh para perkanggo / Pejabat Desa, Dusun/kampung.
6. Bale Beleq Bencingah
adalah salah satu sarana penting bagi sebuah Kerajaan. Bale Beleq diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar Kerajaan sehingga sering juga disebut “Becingah”
7.Bale Tajuk
Merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang memiliki keluarga besar. Tempat ini dipergunakan sebagai tempat pertemuan keluarga besar dan pelatihan macapat takepan, untuk menambah wawasan dan tata krama.
8. Bale Gunung Rate dan Bale Balaq
Bale gunung rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan, sedangkan bale balaq dibangun dengan tujuan untuk menghindari banjir, oleh karena itu biasanya berbentuk rumah panggung.
http://akumassa.org/wp-content/uploads/2010/01/traditional_house_village.jpg

2.4 AGAMA dan KEPERCAYAAN

Ada 2 kelompok suku sasak, yaitu wetu telu dan wetu lima. Dari keduanya mempunyai perbedaan dalam menjalankan agama dan kepercayaannya, namun terlebih dulu akan di jelaskan mengapa di sebut wetu telu dan wetu lima. Di sebut wetu telu karena agama wetu telu mengurangi dan meringkas hampir semua peribadatan islam menjadi hanya 3 kali saja. 3 rukun islam saja, 3 waktu shalat saja, puasa ramadhan 3 kali saja.
Disebut wetu lima karena menjalankan dan mengikuti secara lebih ketat ajaran islam yang sesuai al-qur’an dan hadits.
            Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme,dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni Sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab- kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Terdapat dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu Telu di masa modern.
Dalam masyarakat Lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan “Waktu Telu” sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni animisme,dinamisme,dan kerpercayaan Hindu. Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan “Waktu Lima” karena menjalankan kewajiban sholat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang- orang tertentu seperti kyai atau pemangku adat (sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui oleh kyai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah. Kyai ini juga merupakan specialist atau orang yang di agungkan dalam masyarakat Suku Sasak. Seperti yang telah disebutkan di atas, Kyai selalu mendapat bagian dalam setiap upacara- upacara, dan merupakan pewaris adat istiadat dari nenek moyang.
Kepercayaan Islam Wetu Telu yang dianut orang Sasak ini menganut ajaran yang berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya. Seperti yang tersirat dalam namanya, Wetu Telu, artinya menjalankan sembahyang sebanyak tiga kali dalam sehari, bukan 5 waktu seperti halnya yang dilakukan umat Muslim. Orang Sasak hanya menjalankan sholat pada siang hari (duhur), sore hari (asyar), dan saat matahari terbenam (maghrib). Demikian halnya pada saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Pemeluk Islam Wetu Telu hanya menjalankan ibadah puasa sebanyak 3 hari selama bulan Ramadhan, yaitu pada hari pertama, pertengahan bulan Ramadhan, dan hari terakhir menjelang Idul Fitri.
Hingga kini populasi orang Sasak yang menganut Islam Wetu Telu masih banyak dijumpai. Sebagian besar dari mereka tinggal di Desa Bayan, Lombok Utara. Lainnya tersebar di Mataram, Pujung, Sengkol, Rabitan, Sade, Tetebatu, Bumbung, Sembalun, Senaru, Loyok, dan Pasugulan. Yang menarik, orang Sasak yang tinggal di Pura Lingsar hidup berdampingan secara rukun dengan pemeluk agama Hindu Bali. Meskipun berbeda suku dan agama mereka tampak hidup harmonis. Di daerah Lombok ada Masjid Adat Wetu Telu, sebuah Masjid dengan nilai historis yang sangat tinggi sebagai bukti awal berkembangnya agama Islam di Pulau Lombok. Dan disana terdapat Juru kunci masjisd wetu telu. Masjid Adat ini memang hanya dibuka saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Sholat Mayit, dan Lebaran Topat (Idul Fitri) dan Haji (Idul Adha).
Untuk masuk kedalam masjid tersebut tidak dapat sembarang berpakaian, harus menggunakan pakaian adat berupa sarung putih dan kemeja putih. Masjid yang dindingnya terdiri dari anyaman bambu dan sama sekali tidak menggunakan paku ini dibangun pada abad 17. Masjid Kuno Wetu Telu mempunyai kompleks pemakaman leluhur yang dikeramatkan. Makam-makam tersebut dinaungi rumah bambu dan beratap jerami (sirap) layaknya rumah adat. Salah satu leluhur yang dimakamkan di Masjid kuno ini adalah Lebai Antasalam yaitu salah satu penyebar agama Islam pertama di P. Lombok. Konon Lebai Antasalam lenyap secara misterius ketika melakukan sholat di masjid Kuno sehingga tempat ia lenyap ditandai dengan sebuah batu.
Menurut Pemangku bahwa Kebudayaan Wetu Telu yang diwariskan oleh leluhur mereka adalah nilai-nilai tradisi dalam menata hidup agar selalu mendapatkan keselamatan. Kebudayaan Wetu Telu memang masih banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu Bali yang sebelumnya menduduki P.Lombok. Makna sederhana Wetu Telu adalah budaya nenek moyang yang mengajarkan kepercayaan bahwa proses kehidupan di alam ini tidak terlepas dari tiga hal utama yaitu melahirkan (manganak), bertelur (menteluk) dan berbiji (mentiuk). Orang Bayan Wetu Telu memiliki konsep kosmologi dan pemikiran tersendiri tentang dunianya dimana manusia harus melestarikan Sumber Daya Alam sebagai bentuk ketergantungan kehidupan.
Tiga sistem reproduksi tersebut digambarkan didalam Masjid Kuno Bayan dalam sebuah patung kayu atau disebut Paksi Bayan. Permukaan Paksi Bayan terdapat pahatan Kijang yang malambangkan kelahiran; padi, kapas dan kelapa melambangkan perkembangbiakan dari biji dan pahatan unggas yang melambangkan perkembangbiakan dari telur. Ukuran dinding bangunan hanya 125 cm, dapat kita bayangkan bahwa untuk masuk dalam masjid kita tidak mungkin dapat berdiri tegap, melainkan harus merunduk. esensi dari rendahnya bangunan masjid ini adalah untuk memberikan penghormatan pada bangunan suci, sehingga manusia sebagai makhluk yang rendah harus merunduk (menghormat).
Pada bagian atas masjid juga terdapat hiasan kayu yang berbentuk Ikan dan Burung. Ikan melambangkan dunia bawah, maksudnya kehidupan duniawi. Sedangkan burung adalah binatang yang terbang melambangkan dunia atas, yaitu kehidupan manusia di akhirat. Sehingga manusia hendaknya selalu menjaga keseimbangan antara kehiduan dunia dan di akhirat.
Budaya Wetu Telu mengatur kehidupan orang Bayan dalam bertindak tanduk. Mereka mempercayai bahwa dalam hidup manusia bersiklus melalui dilahirkan, beranak pinak lalu mati. Siklus tersebut harus ditandai dengan proses ritual dalam mencapai status yang lebih tinggi untuk menghindarkan individu dari gangguan-gangguan dalam hidup. Penganut Wetu Telu ini percaya bahwa sangat tabu melupakan para leluhur karena akan ada bencana yang akan mereka alami seperti sakit, kematian, atau bencana alam. Sehingga hal ini mendorong mereka untuk tetap memelihara warisan leluhur.
2.5  BUDAYA ADAT

1. Bau nyale
Bau Nyale adalah sebuah peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi suku Sasak. Tradisi ini diawali oleh kisah seorang Putri Raja Tonjang Baru yang sangat cantik yang dipanggil dengan Putri Mandalika. Karena kecantikannya itu para Putra Raja, memperebutkan untuk meminangnya. Jika salah satu Putra raja ditolak pinangannya maka akan menimbulkan peperangan. Sang Putri mengambil keputusan pada tanggal 20 bulan kesepuluh untuk menceburkan diri ke laut lepas. Dipercaya oleh masyarakat hingga kini bahwa Nyale adalah jelmaan dari Putri Mandalika. Nyale adalah sejenis binatang laut berkembang biak dengan bertelur, perkelaminan antara jantan dan betina. Upacara ini diadakan setahun sekali pada setiap akhir Februari atau Maret. Bagi masyarakat Sasak, Nyale dipergunakan untuk bermacam-macam keperluan seperti santapan (Emping Nyale), ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi, lauk pauk, obat kuat dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.
2. Upacara Rebo
Dimaksudkan untuk menolak balaâ (bencana/penyakit), dilaksanakan setiap tahun sekali tepat pada hari Rabu minggu terakhir bulan Safar. Menurut kepercayaan masyarakat Sasak bahwa pada hari Rebo Bontong adalah merupakan puncak terjadi Bala (bencana/penyakit), sehingga sampai sekarang masih dipercaya untuk memulai suatu pekerjaan tidak diawali pada hari Rebo Bontong. Rebo Bontong ini mengandung arti Rebo dan Bontong yang berarti putus sehingga bila diberi awalan pe menjadi pemutus. Upacara Rebo Bontong ini sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan Pringgabaya.

3Periseian
Adalah kesenian bela yang sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Lombok, awalnya adalah semacam latihan pedang dan perisai sebelum berangkat ke medan pertempuran. Pada perkembangannya hingga kini senjata yang dipakai berupa sebilah rotan dengan lapisan aspal dan pecahan kaca yang dihaluskan, sedangkan perisai (Ende) terbuat dari kulit lembu atau kerbau. Setiap pemainnya/pepadu dilengkapi dengan ikat kepala dan kain panjang. Kesenian ini tak lepas dari upacara ritual dan musik yang membangkitkan semangat untuk berperang. Pertandingan akan dihentikan jika salah satu pepadu mengeluarkan darah atau dihentikan oleh juri. Walaupun perkelahian cukup seru bahkan tak jarang terjadi cidera hingga mengucurkan darah didalam arena. Tetapi diluar arena sebagai pepadu yang menjunjung tinggi sportifitas tidak ada dendam diantara mereka
4. Bebubus Batu
Bebubus batu merupakan salah satu warisan budaya Sasak yang masih dilaksanakan didusun Batu Pandang kecamatan Swela. Bebubus batu berasal dari kata bubus yaitu sejenis ramuan obatan yang terbuat dari beras dan dicampur dengan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan sedangkan batu adalah sebuah batu tempat untuk melaksanakan upacara yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Prosesi acara ini dipimpin oleh Pemangku yang diiringi oleh kiyai, penghulu dan seluruh warga dengan menggunakan pakaian adat dan membawa Sesajen (dulang) serta ayam yang akan dipakai untuk melaksanakan upacara. Upacara Bebubus batu uni dilaksanakan setiap tahunnya yang dimaksudkan adalah untuk meminta berkah kepada Sang Pencipta.
5. Perang ketupat (perang topat)
Dalam rangka pertanian, masyarakat Sasak melaksanakan Perang Topat. Inti upacara ini adalah saling melempar ketupat antara dua pihak dalam satu arena, yang dilaksanakan dalam sebuahkem alig. Hal ini dilakukan misalnya di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat.
Perang ketupat ini mempunyai suatu rangkaian upacara yang berlangsung berhari-hari. Tiga hari sebelum upacara saling melempar ketupat itu dilakukan upacara yang sifatnya sebagai persiapan. Pada tahap persiapan itu,kemalig, arena dan alat-alat upacara dibersihkan. Sehari sebelum upacara mereka membuat janur (kebun odeg), artinya kebun kecil agung yang nantinya akan dibawa kemalig. Sebelum perang dimulai, ada acara penyembelihan kerbau dan acara-acara lainnya.
Upacara ini berlatar belakang suatu kepercayaan untuk mendapatkan berkah, keselamatan, dan kemakmuran, terutama di kalangan petani. Upacara ini juga merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat karunia yang telah dilimpahkannya kepada masyarakat. Melalui upacara ini mereka berharap akan mendapat curah hujan yang cukup, tanaman menjadi subur, tanaman terhindar dari hama, ternah pun selamat, dan sebagainya. Dengan melaksanakan perang ketupat mereka merasa telah memenuhi wasiat alam gaib.
6.Sabuk Belo
Sabuk Belo adalah sabuk yang panjangnya 25 meter dan merupakan warisan turun temurun masyarakat Lombok khususnya yang berada di Lenek Daya. Sabuk Belo biasanya dikeluarkan pada saat peringatan Maulid Bleq bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Upacara pengeluaran Sabuk Bleq ini diawali dengan mengusung keliling kampung secara bersama-sama yang diiringi dengan tetabuhan Gendang Beleq yang dilanjutkan dengan praja mulud dan diakhiri dengan memberi makan kepada berbagai jenis makhluk. Menurut kepercayaan masyarakat setempat upacara ini dilakukan sebagai simbol ikatan persaudaraan, persahabatan, persatuan dan gotong royong serta rasa kasih sayang diantara makhluk yang merupakan ciptaan Allah
7.Ritual Siklus Padi (Adat Bonga Padi)
Dilaksanakan secara besar-besaran. Masyarakat Wetu Telu di Bayan berharap dengan melakukan ritual-ritual dalam bertani akan membawa hasil panen yang berlimpah. Pada musim bercocok tanam mereka melaksanakan ngaji makam turun bibit, pada saat panen dilakukan ngaji makam ngaturang ulak kaya. Saat melakukan pemupukan ataupun pemberantasan hama mereka melakukan ngaji makam tunas setamba. Upacara tersebut dilakukan di dalam kampung penghulu berisi ritual mengosap yaitu membersihkan makam leluhur, mas doa yaitu mengumpulkan berkah arwah leluhur, menyembek menerima berkah arwah leluhur. Selain itu secara individu mereka menyelenggarakan rowah sambi sebelum menyimpan padi dalam lumbung yang biasa disebut sambi. Upacara ini bertujuan agar padi yang mereka simpan dalam Sambi akan cukup untuk konsumsi sehari-hari. Sambi ini juga sebagai identitas sosial, dimana semakin banyak memiliki Sambi maka semakin tinggi status sosialnya.

8.Rowah Wulan dan Sampek Jum’at
Salah satu tradisi penyambutan bulan Ramadan yang dianggap khas bisa terlihat dari upacara yang dilakukan oleh orang-orang Sasak golongan Wetu Telu di Lombok, Indonesia. Sejak sebulan sebelum bulan Ramadhan, penganut Wetu Telu mengadakan rowah wulan dan sampek jumat sebagai bentuk penyambutan dan pemuliaan bulan Ramadhan, walaupun penganut Wetu Telu tidak berpuasa selama satu bulan penuh. Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya‘ban sedangkan Sampek Jumat pada Jumat terakhir bulan Sya‘ban atau disebut Jum‘at penutup.
Walaupun penganut Wetu Telu tidak berpuasa selama satu bulan penuh karena pemahaman yang berbeda terhadap bulan Ramadhan dan juga karena pengaruh adat istiadatnya seperti kebiasaan memamah sirih pada pagi, siang, ataupun sore hari, tetapi ketika bulan puasa menjelang, mereka menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan Ramadhan. Penganut Wetu Telu diminta untuk menunda semua upacara (ritus) peralihan individu (begawe) seperti nguringsang (pemotongan rambut), nyunatang (khitan), dan ngawinang (perkawinan) karena perayaan tersebut akan merusak kesucian bulan Ramadhan. Bahkan jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia, keluarganya harus menyelenggarakan upacara kematian secara sederhana dan menangguhkan upacara pasca kematian sesudah bulan Ramadhan.

2.6  UPACARA ADAT

Masyarakat Sasak menyelenggarakan beberapa upacara yang berhubungan dengan daur /lingkaran hidup (life cycle) manusia dimulai dari peristiwa kelahiran hingga kematian.
·         Kelahiran
Wanita Sasak apabila hendak melahirkan, maka suaminya segera mencari be lian yang merupakan orang yang mengetahui seluk beluk pristiwa tersebut. Dalam melahirkan anaknya, calon ibu mengalami kesulitan maka be lian menafsirkan hal tersebut sebagai akibat tingkah laku sang ibu sebelum hamil. Hal tersebut biasanya ditafsirkan akibat berlaku kasar terhadap ibu atau suaminya. Untuk itu diadakan upacara, seperti menginjak ubun-ubun, meminum air bekas cuci tangan, dan sebagainya yang kesemuanya tadi dimaksudkan agar mempercepat kelahiran sang bayi.
Sesudah lahir, maka ari-ari diperlakukan sama seperti orang memperlakukan sang bayi, karena menurut mereka ari-ari merupakan saudara bayi, yang oleh orang Lombok di sebut adi kaka berarti bayi dan ari-arinya adalah adik-kakak. Oleh sebab itu, ari-ari mendapat perawatan khusus, setelah dibersihkan lalu dimasukkan ke dalam periuk atau kelapa setengah tua yang sudah dibuang airnya. Kemudian ditanam di muka tirisan rumah dengan diberi tanda gundukan tanah seperti kuburan serta batu nisan dari bambu kecil dan diletakkanlekesan pada tempat tersebut.
·         Memotong rambut
Upacara ini sangat penting bagi sebuah keluarga. Rambut yang dilanda dari lahir oleh bayi disebut bulu panas, oleh karena itu harus dihilangkan. Untuk itu masyarakat Sasak mengadakan selamatan, doa atau upacara sederhana yang disebut ngrusiang. Pada peristiwa ini keluarga yang bersangkutan mengundang orang untuk membacakan serakalan. Biasanya seorang laki-laki atau ayahnya menggendong bayi tersebut dan jalan berkeliling orang-orang yang sedang membacakan serakalan serta masing-masing yang hadir memotong sedikit rambut bayi. Pada upacara ini, dikenakan sabuk kemali, yakini alat menggendong yang dianggap sakti atau keramat karena cara membuatnya, menyimpannya berbeda dengan sabuk yang lain.
·         Menjelang dewasa
Menjelang dewasa, anak laki-laki harus menjalani suatu upacara untuk mengantarkan kedewasaannya. Upacara tersebut adalah bersunat atau berkhitan (nyunatang) yang merupakan hal yang wajib di lakukan oleh pemeluk Islam. Pada upacara ini dilakukan naglu’ ai’, padakemal i mata air denagn diiringi gamelan serta menggunakan pakaian adat. Air yang diambil darikemal i kemudian dikelilingi sembilan kali di tempat paosen li atau berupa pajangan. Air tersebut digendong oleh seorang wanita yang dipayungi. Setelah itu air diserahkan kepada inen beru.
Anak yang dikhitan biasanya harus berendam terlebih dahulu. Waktu pergi serta pulang berendam diirngi dengan gamelan serta diusung di atas juli yang disebut peraja. Khitan dilaksanakan oleh dukun sunat yang disebut tukang sunat. Selain upacara di atas, bagi seorang yang menjelang dewasa, juga dilakukan upacara potong gigi yang pelaksanaannya biasa bersamaan dengan upacara lain, seperti bersunat dan perkawinan. Upacara potong gigi disebut juga rosoh oleh suku Sasak. Hanya saja upacara ini jarang dilakukan.

2.7  PERKAWINAN
Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih mengarah ke sistem indogami. Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem indogami dilaksanakan secara ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah sasaknya bolang) terhadap “terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya indogami namun sistem eksogami tidak diharamkan oleh adat. Namun perlu dicatat bahwa adat perkawinan suku sasak, telah mengalami distorsi disana sini. Hal ini akibat serbuan nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam maupun dari nilai-nilai barat. Walau demikian adat ini bukan berarti hilang, ia masih bisa ditemukan di daerah-daerah yang masih kuat menjalankan adat istiadatnya. Sebaliknya di daerah-daerah yang religius dan modern berlakunya adat itu hanya sekedar formalitas belaka. Sebenarnya terdapat tiga sistem perkawinan Adat Sasak, yakni: (1) Perondongan, (2).Mepadik Lamar (melamar), (3) Merarik atau Selarian (kawin lari)
Pakaian nikah adat suku sasak
http://siswa.univpancasila.ac.id/yuanita/files/2010/11/img_0819.jpg

1. Perondongan (Perjodohan)
Perjodohan merupakan salah satu bentuk perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Sasak di masa lampau. Paling tidak ada 3 (tiga) alasan orang tua melakukan perjodohan pada anak-anak mereka, yakni (1) untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga, biasanya keluarga keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah orang lain yang bukan bangsawan atau terutama dari status sosialnya lebih rendah, (2)untuk melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua mempelai, dan yang ke (3) karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah akibat kesewenang-wenangan rezim kolonial, dalam hal ini kolonial Jepang di Lombok. Semasa pendudukan Jepang seringkali tentara Jepang mengambil gadis-gadis lokal secara paksa untuk dijadikan gundik. Yang mereka ambil adalah perempuan yang belum memiliki suami atau perempuan yang belum memiliki ikatan perjodohan. Karena itu masyarakat melakukan langkah preventif dengan cara menjodohkan anak-anak perempuannya sejak masa kanak-kanak. Perkawinan ini kemudian dikenal dengan nama “kawin tadong”. Kalau sudah mendapatkan status perkawinan otomatis tentara Jepang tidak akan mengambilnya. Alasan yang pertama dan kedua adalah alasan yang paling banyak ditemukan karena itu biasanya perjodohan dilakukan di dalam garis kekerabatan (keluarga), misalnya antar sepupu, yang dalam bahasa sasak disebut pisak (baca pisa’).
Perjodohan dimulai ketika masih dalam usia kanak-kanak atau sering juga terjadi setelah mulai dewasa, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan orang tua semata. Dalam perjodohan ini terdapat tiga cara yang digunakan, yakni:
a.      Setelah adanya kesepakatan antar orang tua diadakanlah upacara pernikahan layaknya upacara pernikahan orang dewasa, namun sekalipun mereka telah berstatus sebagai suami isteri mereka dilarang hidup bersama sebagai suami isteri. Tempat tinggal mereka dipisahkan dan tetap tinggal bersama orang tua masing-masing. Mereka akan dinikahkan dalam arti yang sebenarnya kelak setelah memasuki usia dewasa (aqil baliq). Jadi dengan pernikahan dini tersebut sesungguhnya anak-anak telah terikat dalam sebuah tali perkawinan
b.      Anak-anak tidak dinikahkan akan tetapi hanya cukup dengan pertunangan. Esensinya sama dengan cara di atas, bahwa kelak setelah dewasa anak-anak tersebut akan dikawinkan dengan perkawinan yang sesungguhnya.
c.        Anak-anak tidak dinikahkan juga tidak dilakukan pertunangan, akan tetapi cukup diumumkan di publik bahwa anak mereka telah dijodohkan. Anak-anak tersebut baru akan diberitahukan setelah mereka dianggap dewasa. Jika kelak anak yang telah dikawinkan/jodohkan ini menolak melanjutkan perkawinannya, orang tua akan memaksa anak-anaknya untuk tetap melanjutkan perkawinan itu, hal kemudian menimbulkan tradisi kawin paksa. Akan tetapi jika si anak tetap menolak maka orang tua akan melakukan pengusiran ke desa tertentu. Pengusiran ini kemudian disebut “bolang” = buang. Untuk itu mekanisme pemingitan yang merupakan pelarangan terhadap anak perempuan yang telah dijodohkan atau yang telah dikawin tadong untuk tidak keluar dari rumah. Mekanisme ini kemudian melahirkan tradisi pingit. Dalam perkembangan selanjutnya sistem pingit ini berlaku untuk seluruh anak gadis, baik yg telah berjodoh maupun yang tidak dengan berbagai alasan. Alasan pemingitan adalah (1) Agar tidak dilarikan oleh laki-laki lain, (2). Menghindari terjadinya kasus-kasus asusila pada si gadis yang nantinya akan membawa aib keluarga, Jadi tujuan utamanya adalah melindungi kaum perempuan.

2. Kawin Lamar (Mepadik Lamar)
Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem lamar yang berlaku di tempat lain, bahwa setelah calon mempelai bersepakat melakukan pernikahan, calon mempelai laki-laki akan memberitahukan orang tuanya dan meminta dilamarkan ke orang tua si gadis. Cara melamar ini dalam prakteknya sering sekali memerlukan waktu yang panjang, ribet dan berliku-liku, sehingga sering sekali membuat rasa jenuh dan jengkel bagi sepasang kekasih, yang bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Karena itu cara ini sangat tidak populer. Akan di masyarakat yang taat beragama dan atau di masyarakat perkotaan sistem ini justeru lebih populer.

3. Merarik (Selarian)
“Mencuri atau Menculik” tak selamanya salah dan tak selamanya pelaku di masukkan ke dalam penjara, tidak percaya cobalah anda berkunjung ke Pulau Lombok disana anda akan menemukan sebuah taradisi yang sangat unik dan mungkin tidak akan di temukan di tempat lain, Tradisi unik ini adalah sebuah tradisi yang di lakukan oleh seorang Pemuda (Teruna) sebelum melakukan pernikahan. Para teruna harus mencuri atau menculik pasangannya secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya, apabila dalam sehari semalam tidak ada kabar dari si gadis maka oleh keluarganya telah di anggap sudah menikah..!
Dari anggapan para Teruna Lombok (Pemuda) pernikahan dengan cara mencuri di anggap lebih kesatria dibandingkan dengan cara meminta secara hormat kepada orang tua si gadis. Jangan anggap remeh tradisi ini seperti dengan beranggapan “tinggal mencuri dan langsung menikah”, dalam tardisi ini ada beberapa aturan-aturan yang harus di lalui seperti dilakukan pada malam hari dan harus membawa teman atau kerabat yang berfungsi sebagi pengecoh supaya pada saat proses pencurian tidak mudah terlihat oleh seorangpun, apabila terlihat maka dari pihak keluarga ataupun desa akan mengenakan denda kepada Teruna, selain sebagai pengecoh kerabat yang di bawa berfungsi sebagai saksi dan sebagai pengiring pada saat proses pencurian.
Setelah berhasil mencuri, anak gadis tidak boleh di bawa pulang ke rumah Teruna pada saat itu juga, melainkan harus di bawa ke rumah kerabat laki-laki terlebih dahulu, setelah beberapa malam menginap maka dari keluarga kerabat akan mengirim utusan kepada keluarga si gadis untuk memberitahukan bahwa anak gadisnya telah di curi dan sudah berada di suatu tempat persembunyian yang di rahasiakan dari keluarga si gadis, Nyelabar adalah istilah untuk proses pemberitahuan kepada keluarga si gadis ini. Pada saat proses nyelabar tidak boleh di ikut sertakan keluarga dari si Teruna. Proses nyelabar ini terdiri dari lima orang tidak boleh lebih ataupun kurang, pada saat proses nyelabar di haruskan untuk menggunakan pakaian adat sasak asli. Rombongan nyelabar tidak boleh langsung datang ke rumah si gadis melainkan terlebih dahulu datang ke rumah keliang atau tetua adat setempat untuk meminta izin, setelah mendapatkan izin barulah kerabat dari pihak teruna di perbolehkan secara langsung mengunjungi rumah si gadis, para penyelabar tidak di perkenankan untuk memasuki rumah melainkan harus duduk bersila di halaman depan rumah . satu dari lima orang inilah yang akan menjadi juru bicara untuk menyampaikan tujuan dan maksud kedatangan mereka.
Setelah beberapa proses di lalui maka terjadilah sebuah pernikahan, dalam peroses pernikahan. Di desa gangga yang terletak di kabupaten lombok utara ada sebuah keunikan dalam prosesi pernikahan. Pernikahan di lakukan di atas Berugak dan di kelilingi oleh kerumunan masyarkat, apabila pada saat proses ijab kabul pengantin laki-laki membuat suatu kesalahan dalam pengucapan maka seketika itu masyarakat akan bersorak serentak, tak heran prosesi ijab kabul ini kerap kali di ulang sampai tiga kali atau lebih. terkadang walaupun dalam pengucapan ijab kabul tidak terdapat satupun kesalahan para penonton masih tetap bersorak dan serentak mengucapkan ‘tidak sah… tidak sah’ sehingga pernikahan yang sebenarnya sudah sah harus di ulang kembali sampai semua masyarakat berteriak mengucapkan kata sah. Inilah salah satu keunikan yang terdapat di masyarkat Lombok.
Setelah beberapa hari kemudian masyarakat lombok biasayanya mengadakan sebuah perayaan yang dinamakan Nyongkolang, dalam perayaan ini pengantin wanita akan di bawa pulang ke rumah orangtuanya untuk pertamakali setelah kejadian prosesi penculikan sebelumnya dengan berpasangan dan di iringi oleh pengiring dan musik tarisional Gendang Beleq, pengantin pria dan wanita di arak dengan cara berjalan menuju rumah pengantin wanita. Proses Nyongkol ini bertujuan untuk meberitakan kepada masyarakat bahwa pasangan pengantin telah melakukan sebuah prosesi pernikahan yang sah dari segi agama dan juga adat masyarakat suku sasak.
Dalam proses Nyongkolang ini Kedua mempelai akan di iringi oleh musik tradisional asli lombok yaitu Gendang Beleq dan ada juga sebagian yang menggunakan Kecimol, pada saat musik di tabuh (dimainkan) langkah demi langkah di jalankan menuju rumah pengantin perempuan, tak jarang pada saat musik di tabuh sebagian pengiring berjoged dengan gembira di sela-sela perjalanan, setelah sampai di tujuan biasanya rombongan pengiring akan di sambut dengan berbagai macam jamuan tradisional suku sasak. tak jarang dari sebagian besar pada proses ini pengantin wanita akan menangis histeris di kaki orangtua mereka karena dari awal proses yaitu dari proses penculikan sampai proses nyongkolanglah mereka baru bisa melihat orang tua mereka, itulah alasan kenapa sebagian besar pangantin wanita menangis ketika bertemu orang tua mereka.













BAB III
KESIMPULAN
3.1 Proses Asimilasi dan Akulturasi pada suku sasak
Perempuan, Situs dan Ritus Adat Bayan dan Sokong di Kabupaten Lombok Utara.
Spiritualitas Sasak yang kental masih merupakan kerangka dasar dari asimilasi bijak budaya Sasak dan keislaman abad XV-XVII Masehi atau mungkin abad yang lebih tua lagi, yang menurut saya inilah gambaran ke-Indonesiaan yang sebenarnya (referensi pada Babad Lontar keluarga di desa Pengembuk Lombok Utara,yang merupakan tulisan Sunan Bonang antara abad XV-XVII ).
"Inan Meniq" atau Ibu beras/makanan dalam upacara Masyarakat Adat Sasak
Dalam mengikuti prosesi "Mulud Adat" Bayan di Karang Bajo, Lombok Utara, pandangan saya terfokus pada kehadiran partisipatif para perempuan pada upacara "kayu aiq" terutama dalam rangka mempersiapkan piranti upacara termasuk di dalamnya adalah mempersiapkan bahan makanan dan bahan upacara.Sejak pagi hari Masyarakat Adat Bayan berbondong-bondong menuju "Kampu" yaitu desa asli atau area yang pertama didiami oleh suku sasak Islam Bayan, mereka menyerahkan sebagian sumber penghasilannya dari hasil bumi seperti, padi,beras,ketan, kelapa,sayur-sayuran, buah-buahan,dan hewan ternak beserta “batun dupa” (uang) dan menyatakan nadzarnya kepada “Inan Menik” yaitu seorang perempuan yang menerima hasil bumi dari para warga nantinya hasil bumi tersebut akan diolah menjadi hidangan (sajian) untuk dihaturkan kepada ulama dan tokoh adat sasak Bayan dikeesokan hari pada hari ke dua Mulud Adat, hal ini adalah bentuk rasa syukur warga atas penghasilannya, kemudian “Inan Menik” memberikan tanda di dahi warga adat dengan “mamaq” dari sirih sebagai ritual penandaan anak adat yang disebut “Menyembeq”.
Setiap penggalan upacara peranan perempuan betul betul sangat partisipatif bersama para laki laki mulai dari ritual “Menutu Pare” (menumbuk padi), menampik beras, hingga misoq beras (mencuci beras), menyiapkan makanan ritual, sampai menyajikannya (mengageq). Restu seorang “Inan Menik” untuk pemasangan “tunggul” (memasang umbul upacara) dengan memberi lekoq buaq (sirih dan pinang) sangat diperlukan untuk menjamin spiritualitas ritual utama. Kekuatan peranan perempuan dalam ritual adat ini justru telah memberi kehidupan bersambung bagi situs situs adat sebagai basis kekuatan masyarakat adat.
“Peranan “mediator” perempuan dalam ritual “ Memareq Leluhur” adat Sasak, Sokong di dusun Pengembuk “  
Mungkin secara kebetulan dia adalah seorang perempuan, namun bagi saya ini merupakan sebuah proses transformasi spiritual Sasak yang menerima seorang perempuan dari Bima istri seorang laki laki Sasak pewaris adat kerajaan Sokong. Di tempat ini banyak situs situs ritual terbengkelai dan pranata adat pun tidak terawat. Padahal menurut tutur oral penduduk setempat bahwa di sinilah pusat kerajaan Sukun Kertagama, yang menghilang sejak pemerintahan Anak Agung Bali dan lebih terkubur sewaktu penjajahan Belanda. Pusat Kerajaan dan semua pranata adat menghilang dari penyebutan sejarah Pulau Lombok pada zaman kemerdekaan (ORLA), transisi ke zaman pembangunan PELITA (ORBA) ketika peristiwa 30 september kelam 1965, di mana masyarakat adat mengalami stigma komunis dan mengalami proses pengkafiran hingga zaman reformasi. Stigma dan diskriminasi terhadap keadatan Sasak di tempat ini membuat semua ritual adat dilakukan secara tersembunyi. Pola dan isi ritual ini sudah mengalami “asimilasi bijak” atau mungkin saya memakai istilah “cultural attachment”. Di mana agama Islam dan spiritualitas adat setempat saling besentuhan dan menyatu yang dengan piawai diramu oleh para leluhur untuk merawat bumi paerdaya Sasak di Lombok. Diperkirakan sejak abad ke XV-XVII Masehi atau sebelumnya di mana Islam Sasak “Wetu Telu” merupakan salah satu bentuk terbaik keislaman Indonesia selain Keislaman Kajang di Sulawesi Selatan, dan beberapa tempat lain.



3.2  Proses Akulturasi
            Ada 4 contoh budaya pada suku sasak yang mengalami akulturasi, yaitu ;
1.      Bau nyale